TDC-Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara (Sumut) sudah melayangkan surat pemanggilan ketiga kali untuk Notaris Elviera sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi terkait hilangnya 35 sertifikat lahan, dengan pengembang PT Krisna Agung Yudha Abadi (KAYA).
Sebelumnya Kejati Sumut sudah dua kali melayangkan surat pemanggilan pemeriksaan untuk Notaris Elviera pada tahun 2021 lalu.
Namun, Majelis Kehormatan Notaris (MKN) yang diketuai Kakanwil Kemenkumham Sumut Imam Suyudi, belum menyetujui hal tersebut sehingga Kejati Sumut kembali melayangkan surat pemanggilan ketiga. Selain pemanggilan sebagai Notaris, Elviera juga pernah dipanggil sebagai PPAT namun tidak juga hadir.
“Informasi dari tim penyidik, pertanggal hari ini dibuatkan surat dan akan dikirim surat tersebut kepada ketua majelis kehormatan notaris wilayah Sumut terkait permintaan persetujuan tertulis tindakan penyidikan atas nama notaris E,” jelas Kasi Penkum Kejatisu Yos A Tarigan, sambil berharap MKM secepatnya memberikan balasan dari surat pemanggilan itu, Kamis (3/2/2022).
Di tempat yang berbeda, Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr H Edi Warman SH M Hum, menegaskan bahwa tidak ada alasan MKN untuk tidak mengizinkan yang bersangkutan untuk hadir diperiksa dan memberikan kesaksian di Kejatisu.
“Jika tiga kali notaris tidak datang dipanggil ketiga, bisa dipanggil paksa. Karena tidak ada hak untuk menahan Notaris untuk memberikan keterangan di Kejati Sumut. Jadi, wajib datang itu,” tegasnya.
Guru besar itu menjelaskan walaupun di undang-undang ada aturan terkait Notaris. Namun, ia menegaskan bahwa undang-undang kenotarisan bukan untuk menghalangi pemeriksaan.
“UU sendiri bukan berarti kebal hukum. Jadi, tidak ada alasan menghalangi untuk tidak hadir. Apa alasannya tidak diizinkan, bukan karena ada undangan sendiri dia kebal hukum. Justru karena salah satu penegak hukum seharusnya mematuhi itu,” katanya.
Karena itu menurut Prof Edi Warman, Majelis Kehormatan Notaris harus mengizinkan Kejati Sumut untuk memeriksa Notaris Elviera agar kebenaran dalam kasus ini bisa terungkap sebagaimana mestinya.
“Jika tidak mau, ada apa dia tidak mau, berarti diduga mungkin ada bermain di situ. Kalau kata Mahfud MD inilah yang disebut industri hukum,” tandasnya.
Diketahui bahwa, kasus mafia tanah ini terbongkar oleh Kejati Sumut yang membongkar kejahatan pengembang Takapuna Residence, PT Krisna Agung Yudha Abadi (KAYA). Kejati Sumut menemukan Chanakya Suman, Direktur KAYA menggelapkan 35 sertifikat lahan.
Sertifikat tersebut kemudian dijual Canakya kepada 19 orang senilai Rp14,7 miliar. Padahal, ada 151 ruko yang berdiri di atas 35 sertifikat tersebut. Belum selesai di situ, Canakya juga mengagunkan sertifikat tersebut ke Bank BTN cabang Medan dan menjadi kredit macet.
Untuk proses pengajuan kredit ini, Canakya diduga bekerja sama dengan Mujianto, pemilik PT Agung Cemara Realty dan notaris cantik bernama Elviera.
Pengadilan Negeri Medan menyatakan Canakya bersalah dan dihukum 28 bulan penjara pada Desember 2020. Dia terbukti menjual semua sertifikat ke pihak lain di tengah proses peralihan hak jaminan atas penguasaan tanah yang menyebabkan Bank BTN rugi hingga Rp14,7 miliar.