TDC- Badai yang menerpa institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sepertinya hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Pasca terungkapnya kasus pembunuhan yang melibatkan Ferdy Sambo seorang mantan jenderal bintang dua dan menyeret puluhan polisi lainnya, serta kasus narkoba yang kini menjerat mantan Kapolda Sumbar Irjen Teddy Minahasa, Polri yang kini dalam kondisi 'babak belur' masih harus terus menghadapi berbagai serangan.
Istimewa |
Ironisnya, tidak sebatas dari eksternal, serangan itu juga sangat masif dari internal. Tak ubahnya menjadi sebuah aksi balas dendam antar para pejabat Polri yang belum ikhlas terhadap sanksi perbuatan pidana yang mereka lakukan.
Lewat pengaruh mereka yang masih kuat di Polri, berbagai serangan terus dilancarkan, termasuk lewat berbagai fitnah asal terlampiaskan membuka kepada rakyat bahwa semua petinggi Polri memiliki dosa.
Teranyar adalah kasus testimoni tudingan adanya praktik suap dibalik bisnis tambang ilegal yang dilakukan mantan bintara polisi Ismail Bolong. Belakangan Ismail justru mengklarifikasi pernyataannya dan mengungkapkan bahwa testimoni itu fitnah.
Parahnya, ia mengaku terpaksa melakukan kebohongan itu karena ditekan Hendra Kurniawan, mantan Karo Paminal Polri berpangkat Brigadir Jenderal yang baru dipecat tidak dengan hormat terkait kasus Obstruction of Justice pembunuhan Brigadir Yosua Tampubolon dikediaman Ferdy Sambo.
Fenomena apa yang terjadi dibalik saling serang dan tebar fitnah di tubuh Polri ini?
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Forum Masyarakat Pemantau Negara (DPN Formapera), Teuku Yudhistira mengungkapkan, sudah diprediksi sejak awal, bahwa hal-hal seperti ini rentan terjadi ketika skenario Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan Yosua gagal dan tidak mendapat dukungan dari institusi.
Terlihat, dengan kekuatannya yang masih besar di Polri, Ferdy Sambo atau pun jenderal-jenderal dijajarannya seperti Hendra Kurniawan, jelas masih memiliki loyalis yang dengan mudah melakukan hal tersebut.
"Bagaimana pun juga Polri dalam posisi ambivalen. Dia dibutuhkan tapi sekaligus tidak disukai. Tentu ini karena tingkah oknum-oknum didalamnya yang tak pernah patuh dan benar-benar menanamkan Tri Brata didalam sanubarinya. Kapolri menjadi dalam posisi dilematis," tegas Yudhistira dalam rilis tertulisnya di Medan, Senin (7/11/2022).
Pria yang akrab disapa Yudis ini juga menilai, sadar atau tidak sadar, ada upaya-upaya pihak tertentu baik di internal atau eksternal yang menginginkan Polri bisa dikendalikan sesuai kemauan atau bertujuan untuk membubarkan institusi.
"Institusi Polri ini ibaratnya sebuah arena pertarungan pihak tertentu yang ingin mengendalikannya sesuai kemauan atau sekalian dibubarkan jika masih ada anggota yang berusaha mempertahankan kemurnian Polri seperti yang termaktub di dalam Tri Brata," ucapnya.
Yudis juga mensinyalir keterlibatan para senior di Polri yang sudah pensiun masih berupaya mencari keuntungan dalam kisruh tersebut.
"Dan itu cukup banyak. Sehingga tak heran situasi ini memunculkan bahwa banyak faksi dengan misi masing-masing yang berupaya menguasai Polri dengan cara apapun," tandasnya.
*Polri Ditelanjangi*
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi ini juga sangat menyayangkan, karena perang antar faksi itu malah membuat Polri 'ditelanjangi' dan bulat-bulat difitnah terus menerus.
"Yang membuat kita tidak habis pikir adalah testimoni Ismail Bolong, seorang mantan Bintara Polri tetapi tak lama setelah itu dia mengklarifikasi sendiri pernyataannya bahwa tuduhannya itu tidak benar dan dia ngaku berbuat demikian karena ditekan Brigjen Hendra yang kita tau sepanjang karirnya di Polri terus menerus berposisi di Propam Mabes. Sesuatu keanehan sekaligus nekad yang bodoh karena terlalu mudah menyerang terus langsung minta maaf. Ini enomena yang luar biasa namun justru digunakan menjadi layaknya seperti sesuatu bukti hukum," kecamnya.
Hal lain yang membuat Yudis heran dan tak habis pikir kenapa produk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Ropaminal Mabes Polri bisa keluar ke publik.
"Kalau tidak ada keterlibatan orang dalam tentu tidak mungkin kebocoran LHP itu terjadi. Mengacu kepada pengakuan Ismail Bolong, sangat masuk akal kalau antek-antek Hendra Kurniawan terlibat, apalagi dia sudah 13 tahun di menjabat di Prompam," tukasnya.
Yudis juga sangat menyayangkan sikap Kaduv Propam Irjen Syahardiantono yang dipercaya Kapolri untuk membenahi internal terkesan 'tutup mata'.
"Ini juga patut dipertanyakan, apa Kadiv Propam tidak bisa meredam dan tidak tahu produk yang menjadi produk rahasia internalnya bisa muncul ke permukaan dengan sangat gamblanf. Jangan sampai ada anggapan bahwa pengaruh Irjen Syahardiantono kalah terhadap antek-antek Hendra atau Sambo di dalam Propam. Atau memang pejabat Kadiv Propam ikut bermain untuk mengobok-obok Polri demi mengguncang kinerja Kapolri? Sebagai langkah yang sangat tepat tentu sudah seharusnya Kapolri sesegera bertindak, jangan malah dibiarkan. Kalau memang berniat membenahi Polri maka harus dibenahi dengan cara yang tepat dan benar," bebernya.
Yudis juga berharap Indonesia Police Watch (IPW) sebagai lembaga yang turut menjadi kontrol sosial bisa lebih cerdas bijak menyikapi permasalahan ini.
"Sebaliknya IPW ikut membantu Kapolri tuntaskan kerusakan Polri. Karena sudah kerap terbukti bahwa dengan hanya dengan model menyerang, mendiskreditkan tanpa ada solusi tentu Kapolri tidak bisa dengan lebih baik membenahinya ke depan. Jangan karena langkah-langkah IPW membuat Kapolri jadi bermain ilmu selamat personal. Polri ini kan satu kesatuan, bukan sebatas milik Jenderal Listyo Sigit. Artinya Kapolri juga ikut berperan, jangan seolah-olah ikut menikmatinya dan berupaya mau dapat untung dari konflik yang ada ini," pungkasnya.